Selasa, 18 Juni 2013

Shin Suikoden buku 3

Shin Suikoden buku ke-3 ini baru seru bangettt... Petualangannya sangat menarik. Mereka, para bandit budiman, sudah mulai bergerak dari Ryou Zan Paku.

Bagaimana ceritanya... Enaknya dinikmati sendiri saja nie hehehe

Anggota Ryou Zan Paku semakin banyak, dan telah memilih Chou Gai sebagai pemimpin, serta Sou Kou sebagai wakil. Saat Ji Sen disandera, Sou Kou memimpin pasukan untuk menyerbu keluarga Shuku Chou Bou di Gunung Doku Ryuu. Namun, pasukan lawan lebih terlatih dan memiliki banyak ksatria tangguh sehingga pasukan Sou Kou berhasil dipukul mundur. 
Mendapat kabar bahwa Sai Shi si Puting Beliung Kecil yang banyak berjasa pada petinggi Ryou Zan Paku masuk penjara, para pemimpin Ryou Zan Paku memutuskan untuk membentuk pasukan untuk menolongnya.
Pada saat genting, Son Ryuu sang Polisi Militer muncul untuk membantu Sou Kou yang berada dalam posisi terdesak di Gunung Doku Ryuu.
 ------
Suikoden atau yang biasa kita kenal dengan Kisah Batas Air dan 108 Pendekar merupakan karya besar klasik Cina.
Shin Suikoden merupakan penulisan ulang kisah Suikoden yang memikat dan penuh pesan moral. Ditulis oleh Eiji Yoshikawa dan diterjemahkan langsung dari Bahasa Jepang oleh Jonjon Johana, buku ini akan membawa kita ke dalam jalinan kisah cinta para pendekar dan perjalanan hidup mereka yang penuh warna.
 

Senin, 20 Februari 2012

Sinopsis Minamoto no Yoritomo

Setelah kalah perang melawan klan Taira, Minamoto no Yoshitomo dipenggal dan keturunannya diburu untuk dihukum mati. Namun, tertinggal empat putra Yoshitomo yang selamat.

Novel ini mengisahkan kehidupan Yoritomo dan Ushiwaka, mulai dari pelarian hingga mereka membangun kekuatan untuk melawan Taira no Kiyomori yang menjadi penguasa mutlak di Jepang.

Ditulis dengan indah oleh Eiji Yoshikawa, dan diterjemahkan langsung dari bahasa Jepang oleh Yoko Yakebe, membuat kita serasa dibawa ke dalam kehidupan samurai abad ke 12, sambil menikmati detail-detail sejarahnya.

Rabu, 29 Juni 2011

Minamoto no Yoritomo, bab 1 (Karya Eiji Yoshikawa)

SALJU TEBAL

“Pangeran Suke!”

“Pangeran Muda!”

“Suke!”

Sekonyong-konyong, ketujuh penunggang kudayang terdiri atas majikan dan pengikutnyaberhenti bergerak. Mereka berkerumun dalam kabut putih tebal akibat badai salju. Sambil berteriak, mereka terus mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari sosok Pangeran Suke.

“Sama sekali tidak kelihatan!”

“Beliau tidak kelihatan.”

“Sampai sore tadi, saat kita baru akan mencapai tanggul Shinohara, jelas sekali dia masih berada di antara kita.”

Dengan pandangan yang terbatas oleh ketebalan hujan salju, mereka sudah kehilangan cara untuk menemukan orang yang mereka cari. Badai salju menerpa dari segala arah.

“Jangan-jangan… dia sudah berada di tangan musuh…”

Sambil membiarkan salju menutupi alis, bulu mata, tali topi perang, serta lekukan pelana, mereka berkerumun di atas kuda masing-masing, terdiam dalam suasana yang penuh kekhawatiran.

Peristiwa ini terjadi pada bulan kedua belas tahun pertama Heiji.

Berita bahwa pada tanggal 27 pagi terjadi peperangan besar di Kyoto sudah menyebar di sepenjuru negeri Oumi. Ketika melihat asap hitam tebal yang membubung dari arah Yoakegatake dan Osaka, orang-orang di jalan utama dan di berbagai penginapan pinggir danau ramai membicarakan bahwa peperangan kali ini jauh lebih besar daripada perang Hogen empat tahun lalu.

Tiba-tiba saja, datang para samurai klan Taira dan petugas pemerintahan di penginapan-penginapan untuk menyampaikan, “Ini pengumuman dari Yang Mulia. Jika kalian melihat orang-orang dari klan Minamoto, segera tangkap mereka dan bawa ke kantor kami. Dan jika kalian melihat anggota keluarga Yoshitomo, jangan biarkan mereka memasuki kota.” Dengan sendirinya, hasil peperangan pun sudah bisa ditebak.

Semua orang seolah-olah memutuskan untuk tidak ikut terlibat dengan orang-orang yang memburu dan diburu. Itu hanya akan menyusahkan diri mereka sendiri. Maka, pada sore hari tanggal 28, semua penginapan dan rumah penduduk menutup pintunya rapat-rapat. Tidak ada satu rumah pun yang memancarkan cahaya penerangan.

“Apa boleh buat...” ujar Sama no kami Yoshitomo pasrah, dengan wajah yang penuh kekecewaan. Dia adalah ayah dari Pangeran Suke.

Usianya sekitar 37 atau 38 tahun. Dari rupanya yang paling tampan di antara ketujuh orang itu, serta dari tubuh yang bertulang kekar di atas kudanya yang tersohornya—Kurotsukige—bisa diketahui dengan sekali lihat bahwa dialah pemimpin rombongan. Yoshitomo adalah pemimpin klan Minamoto yang tersebar di sepenjuru negeri. Sampai dengan saat kekalahannya dalam peperangan di Rokujokawara, dia masih memiliki sekitar seribu tentara serta dilindungi oleh keluarga hatamoto.

Ia merupakan sosok yang sangat diandalkan oleh para pengikutnya.

Pada saat meninggalkan ibukota, rombongannya masih berjumlah 30 sampai 40 orang. Namun, karena mengundang perhatian orang, ia menyuruh sebagian anak buahnya pergi. Sebagian lagi tewas di tangan musuh atau tertinggal jauh karena mengalami luka parah. Dan, saat berhasil melewati Seta, anggota rombongan yang tersisa hanya 8 orang, termasuk dirinya. Anggota rombongan tersebut adalah putra sulung Yoshitomo, Akugenta Yoshihira, yang berusia 19 tahun; putra keduanya, Tomonaga, yang berusia 16 tahun; ketiga pengawal mereka: Konnoumaru, Kamata no Hyoue Masakiyo, dan Hiraga Yoshinobu. Dan putra ketiganya, Uhyoenosuke Yoritomo, yang menghilang dari pandangan.

Apakah dia tertangkap hidup-hidup?

Atau apakah dia terkubur salju?

Para pengawal yakin Pangeran Suke memiliki kekuatan mental yang tinggi, tetapi, biar bagaimanapun, anak itu masih 13 tahun dan tubuhnya pun kecil.

Namun, tiba-tiba Yoshitomo berkata, “Biarkan saja! Kita harus cepat-cepat melanjutkan perjalanan. Dia putraku. Jadi, jika masih hidup, dia akan bertahan hidup sendiri. Jika mati, matilah. Apa boleh buat.”

Setelah itu, dengan penuh ketegaran dia memegang tali kekang kudanya, Kurotsukige, lalu mulai mengarahkannya ke kaki gunung Ibuki.

***

“Biarkan saja.”

Mendengar kata-kata Yoshitomo tersebut, para pengawal keheranan. Para pengawal mengira Yoshitomo akan memberikan perintah dengan kalut, “Ayo kembali lagi!” atau “Carilah secara terpisah-pisah!” Tadinya mereka pikir mereka harus menemukan sang pangeran muda terlebih dahulu agar bisa melanjutkan perjalanan.

Dalam kehidupan sehari-hari, Yoshitomo disebut-sebut sebagai seorang ayah yang sangat memanjakan anak-anaknya. Apalagi terhadap pangeran muda Suke, putra yang sangat disayanginya melebihi Yoshihira dan Tomonaga. Pada saat akan maju ke medan perang kali ini pun, ia menyerahkan dua pusaka keluarga Minamoto—berupa baju zirah yang yang disebut Genta ga ubugi4 dan pedang yang dinamai Higekiri5bukan kepada putra sulung atau putra keduanya, melainkan kepada pangeran Suke yang belum genap berusia 13 tahun, dengan alasan “dia baru pertama kali maju ke medan perang.”

Melihat sosok majikannya yang seperti itu, para pengawal justru semakin tergerak.

Mereka dapat memahami perasaan pemimpin mereka.

Yoshitomo adalah jenderal yang kalah perang, yang telah banyak kehilangan kerabat serta anak buahnya di Rokujokawara. Dengan demikian, meski berkaitan dengan nyawa putranya sendiri, tidak ada alasan baginya untuk membesar-besarkan masalah ini.

Selain itu, yang membuat dada Yoshitomo sangat sesak sekarang ini bukanlah masalah hilangnya Suke atau yang lainnya, melainkan bagaimana cara mengembalikan kondisi klan Minamoto dari keterpurukan. Dadanya dipenuhi rasa tanggung jawab yang sangat besar serta penyesalan yang mendalam, dan dia tidak dapat membiarkan kondisi keluarganya seperti sekarang ini.

Kelak, rombongan ini akan tiba di penginapan Aohaka di jalan pesisir barat Mino. Di sana ada seorang anak gadis pemilik penginapan yang bernama Ooi. Wanita itu, Enju, adalah seseorang yang pada saat muda menarik perhatian Yoshitomo; dan dari hubungan mereka terlahir seorang anak perempuan yang bernama Yasha. Jika mereka tiba di sana, tentunya kedua orangtua Enju tidak akan menolak kedatangan mereka dengan dingin.

Mereka harus bertahan sampai saat itu.

“Yoshihira, kumpulkan kerabat Minamoto di wilayah Jalan Gunung Timur. Tomonaga, pergilah ke wilayah Shinshu dan kumpulkan kerabat Kai-Genji yang ada di sana. Aku sendiri akan mengumpulkan kerabat yang ada di sekitar Bandou, dan dari Toukaidou kita akan mengarah ke barat lagi. Mari kita serang ibukota dari tiga arah secara serentak.”

Mimik muka Yoshitomo tidak seperti biasanya. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam diri Yoshitomo. Perasaan tidak puas terus menghantuinya. Yoshitomo ingin ayah dan anak itu, Kiyomori dan Shigemori, merasakan bagaimana sengsaranya berjalan melewati badai salju tebal serta pedihnya sebagai prajurit yang kalah perang. Sebagai pemimpin, aku tidak memiliki kehormatan lagi untuk menjalani kehidupan. Aku tidak lebih baik daripada roh gentayangan.

Para pengawal merasa terenyuh dan prihatin.

Mereka tidak tahu lagi kata-kata penghiburan seperti apa yang harus diucapkan. Mereka hanya bisa mengikutinya dengan menundukkan topi baja masing-masing menghalangi terpaan salju halus yang berputar-putar di belakang Kurotsukige. Namun pada saat itu, salah seorang pengawalnya, Kamata no Hyoue Masakiyo, memanggil, “Tuanku! Tuan!”

Ia berkata, “Saya tidak dapat mengetahui perasaan Anda, namun saya, Masakiyo tidak bisa begitu saja menyerah. Karena itu silakan pergi duluan, saya sendiri akan kembali untuk memastikan hidup atau matinya Pangeran muda Suke, dan nanti saya akan menyusul Anda.”

Mendengar itu Yoshitomo bergumam. “Begitu, ya. Hmmm. Begitu, ya.”

Di dalam badai salju, Masakiyo membalikkan kudanya, dan dengan perasaan puas, dia menganggukkan kepala dengan takzim.

Ternyata di balik kulit dingin yang terbungkus baju zirah itu masih ada darah orangtua yang panas bergolak. Mengetahui hal itu, pengawal lainnya, Konnomaru, juga mengikuti langkah Masakiyo, tiba-tiba berteriak, “Pemimpin! Mohon saya juga diberi kesempatan!”

Yoshitomo memikirkannya sejenak.

Namun, Konnomaru terus mendesak, Saya mohon. Izinkan saya kembali lagi ke Kyou (ibukota) untuk memastikan keadaan di sana. Setelah itu saya akan mengejar Anda ke Timur.”

Melihat mata Konnomaru yang menyala-nyala serta suara permohonan yang sangat memelas, akhirnya Yoshitomo mengizinkannya.

“Baiklah. Pergilah.” Kemudian, bersama 4 orang yang tersisa, Yoshitomo melarikan kudanya ke kejauhan, meninggalkan kepulan salju tebal di belakangnya.

Setelah memandangi kepergian mereka, Masakiyo dan Konnomaru segera mengambil jalan kembali ke barat, dan di sepanjang jalan mereka terus memanggil-manggil.

“Pangeran muda!”

“Pangeran Suke!”

Mereka khawatir jangan-jangan pangeran muda tertimbun salju atau terperosok. Maka, mereka mencari ke segala penjuru; dan tanpa terasa sudah mencari-cari sekitar sepuluh kilometer.

“Hyoue!”

“Ya. Ada apa?”

“Sayang sekali. Kita sudah sampai di penginapan Moriyama. Untuk pencarian pangeran Suke di sekitar sini, kuserahkan kepadamu, aku sendiri akan cepat-cepat menuju Kyou.”

Ketika akan berpisah, Masakiyo memanggil, “Konno! Konno!”

“Ya?”

“Tunggu sebentar. Di sana, di sebelah utara gunung kelihatannya ada sebuah gubuk. Mungkin itu kandang ternak. Ayo kita periksa keadaan di sana…”

Setelah berkata begitu, Hyoue no Masakiyo lebih dulu melarikan kudanya. Ketika melihat ke dalam kandang, tidak terlihat tanda-tanda adanya orang. Di atas lantai tanah hanya terdapat lubang galian untuk perapian yang masih menyisakan kepulan asap dari kayu bakar. Kemudian mereka menambahkan kayu bakar ke dalam perapian itu, dan duduk mengelilinginya.

“Konno. Kau kan berniat kembali ke Kyou. Sebelum kembali ke sana, perlu kuingatkan bahwa di ibukota mungkin saja banyak pengecut yang memohon kepada keluarga Taira untuk tetap dibiarkan hidup. Bagi klan Minamoto, saat ini kita tidak bisa hidup secara terang-terangan…. Apakah kau memahami kondisi yang berisiko seperti itu?”

“Tentu saja. Perang baru saja berlalu satu-dua hari yang lalu. Tentunya di dalam kota juga masih mengepul sisa-sisa asap peperangan, dan tentara-tentara keluarga Taira yang menang perang pasti masih dalam suasana penuh semangat. Aku akan sangat berhati-hati, menyelinap dan mencari-cari kelengahan musuh.”

“Lalu, apa yang akan kaulakukan selanjutnya?”

“Oh. Misiku bukanlah misi yang diinstruksikan oleh pemimpin. Meskipun tidak beliau ucapkan, aku bisa mengetahui perasaannya, dan sepanjang jalan aku sudah menyampaikan niatanku kepadanya, hingga akhirnya keluar izin dari beliau. Berdasarkan hal itulah aku akan pergi ke sana.”

“Baguslah kau bisa menyadarinya. Kita, klan Minamoto, meski hari ini kita kalah, darah yang mengalir untuk esok hari tidak akan musnah. Di ibukota masih ada anak-anak yang melanjutkan aliran darah itu.”

Kayu bakar di perapian mulai terbakar.

Tersorot cahaya api, baju zirah dan pedang logam memancarkan kilauan. Bersamaan dengan itu, salju yang menempel di tubuh mereka mulai mencair. Namun, air mata mereka melebihi titik-titik air itu.

***

Selain tiga putra sang pemimpin yang dengan jantannya ikut dalam peperangan, masih ada tiga putra kecil yang belum mau terpisah dari pangkuan ibunya di istana lain.


Ibu mereka adalah Tokiwa Gozen, bekas pembantu di istana Kujo. Karena ia bukan perempuan dari golongan atas, maka dalam kehidupan sehari-hari pun ia selalu mawas diri, dan dalam perayaan keluarga ia jarang menunjukkan diri. Ia hidup dalam bayang-bayang bagaikan bunga kamelia di musim dingin yang tertutup daun, namun warna merahnya sangat memesona. Sejak menjadi istri Sama no kami Yoshitomo, ia sudah melahirkan tiga orang putra. Imawaka yang tahun ini akan berusia 7 tahun, Otowaka yang berusia 5 tahun dan Ushiwaka yang belum bisa melepaskan diri dari air susu ibunya